- Hiu,sirip tulang belakang dengan bias kelenjar epithelium dalam lekuk tanduk hiu (heterodontus Francisci) dan putaran ikan anjing (Squalus acanthias).
- Ikan pari (dasyatidae dan Myliobatidae),penyengat caudal dengan kelenjar kulit dari penutup ikan pari (Dasyatis),pari rajawali bertutul (Aetobatis narinari),pari-pari kelelawar penyengat (Myliobatis californicus).
- Chimaeras (Chimaeridae),sirip punggung tulang belakang dengan kelenjar racun. Epithelium penyusun penutupnya dan lekuk garisnya Chimaera dan Hydrolagus(the ratfish).
- Ikan scorpion, ikan-ikan besar dan ikan karang (Scorpaenidae),punggung, dubur dan panggul sirip tulang belakang kelenjar racun didalam lekuknya termasuk spesies dari ikan scorpion (scorpaena),bullrouts (Notesthes),ikan-ikan besar (pterois) dan ikan batu (synanceja).
- Ikan-ikan weever (Trachinidae),penyengat opercular dan tu8lang belakang dari sirip punggung dengan kelenjar racun dalam lekuk Trachinus.
Minggu, 16 Oktober 2011
Contoh kelenjar racun pada beberapa jenis ikan:
Selasa, 13 September 2011
RINGKASAN UNDANG-UNDANG (yang berkaitan dengan lingkungan)
I.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NO
32 TAHUN 2004 tentang
PEMERINTAHAN DAERAH
Undang-undang
ini berisi tentang pemerintah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan. Dilandaskan pada otonomi daerah yang mengarah ke perwujudan
masyarakat yang sejahtera melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan
peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaandan kekhususan daerah
dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.
II.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NO 7 TAHUN 2004 tentang
SUMBERDAYA
AIR
Undang-undang ini berisi tentang
pengelolaan sumberdaya air. Dimana air merupakan karunia dari Tuhan yang
mempunyai manfaat terhadap kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia.
Seiring jumlah kebutuhan terhadap air yang meningkat, maka ketersediaan air
otomatis akan berkurang. Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan dengan
memperhatikan fungsi social, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras. Perlu
diperhatikan bahwa pengelolaan sumberdaya air perlu diarahkan untuk mewujudkan
sinergi dan keterpaduan yang harmonis antar wilayah, antar sector dan antar
generasi.
III.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NO32 TAHUN 2009 tentang
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Undang-undang
ini berisi tentang negara, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan
berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
seturut dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan
hak konstitusional bagi setiap warga Negara Indonesia. Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup harus dilaksanakan secara berkelanjutan agar
lingkungan hidup Indonesia dapat menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat
Indonesia serta makhluk hidup lain.
Posisi
Negara Republik Indonesia yang terletak pada posisi silang antara dua benua dan
dua samudera dengan iklim tropis membuat kondisi alam Indonesia menjadi tinggi
nilainya. Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia membuat Indonesia
mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam yang melimpah.
Oleh karena itu kekayaan yang ada perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu
system perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan
terintegrasi antara lingkungan laut, darat dan udara berdasarkan wawasan
Nusantara.
IV.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NO 26 TAHUN 2007 tentang
PENATAAN RUANG
Bahwa ruang wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan Negara kepulauan berciri Nusantara,
baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang
udara termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumberdaya perlu
ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna dan berhasil
guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang
wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan
umum dan keadilan social sesuai dengan landasan konstitusional Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk memperkokoh Ketahanan
Nasional berdasarkan Wawasan Nusantara maka
harus sejalan dengan kebijakan otonomi daerah. Dalam hal ini yang memberikan
kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penataan
ruang. Maka dalam Undang-undang ini diatur tentang kewenangan untuk menjaga
keserasian dan keterpaduan antar daerah dan antara pusat dan daerah agar tidak
menimbulkan kesenjangan antar daerah.
V.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NO 23 TAHUN 1997 tentang
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Undang-undang
pengelolaan ligkungan hidup ini menjelaskan tentang lingkungan hidup yang
diberikan oleh Tuhan sebagai ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan
matranya sesuai dengan Wawasan Nusantara. Kemudian untuk mendayagunakan
sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti yang diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun1945 dan untuk
mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan pancasila, perlu dilaksanakan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan
kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan
kebutuhan generasi masa kini.
Bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk
melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras
dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup.
VI.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESI
NO 27 TAHUN 2007 tentang
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari sumberdaya alam yang
dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai
oleh Negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi sekarang
maupun bagi generasi yang akan dating.
Pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan,
pemanfaatan pengawasan dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau
kecil antar sector, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem
darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
·
Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara
ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
·
Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih
kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi)
beserta kesatuan ekosistemnya.
Diambil dari berbagai sumber buku dan artikel...
Senin, 12 September 2011
BIOTURBASI
Bioturbasi
adalah satu proses perlemburan semula tanih dan sedimen secara biologi di dasar
laut. (Biological reworking of soil and sediment).
Bioturbasi merupakan istilah yang diberikan
terhadap destabilisasi substrat oleh aktivitas fauna juga dapat mengganggu
keadaan di dasar. Bioturbasi (gangguan biologi) penting dalam struktur
komunitas bentik laut (Rosa & Bemvenuti 2005), termasuk meiofauna. Dalam
kasus lingkungan sedimen, hal ini dapat terjadi melalui aksi penggalian oleh
Copepoda atau Polychaeta pemakan deposit (Lindsay & Woodin 1996). Faktor
yang dapat mempengaruhi komunitas meiofauna adalah kehadiran makroinvertebrata,
seperti kepiting penggali Chasnagnathus granulata (Dana) di habitat
tersebut. Kepiting ini menggali dan mempertahankan liang yang terbuka semi
permanen, dan memindahkan sejumlah besar sedimen selama proses makan sehingga
terbentuk gundukan di permukaan sedimen dan memelihara liang yang terbentuk
pada permukaan sedimen di sekitar galian (Hines 1991; Iribarne et al.
1997; Rosa & Bemvenuti 2005).
(Sumber gbr: http://sedimentologiduaribusembilan.blogspot.com)
Bioturbasi
umumnya terjadi pada sekuen sedimen yang berada pada lingkungan oxic,
terrestrial maupun laut dimana masih memungkinkan biota hidup. Pada zona
anoxic, dimana biota tidak dapat tumbuh, diharapkan tidak terjadi perusakan
oleh biota, namun di lingkungan kryosfer, perusakan sangat mungkin terjadi.
Kedua jenis mekanisme perusakan tersebut sangat mengganggu usaha perekaan ulang
dinamika lingkungan yang membentuk endapan tersebut. Karena acakan tersebut,
material berikut fosil biota teraduk sehingga tidak terdapat pada posisi yang
mewakili saat (kejadian) pembentukannya. Analisis temporal tidak mungkin
dilakukan pada sekuen ini. Perusakan oleh biota juga sering ditemukan pada
koral, berupa lubang-lubang cacing atau binatang lain sehingga mengganggu
analisis temporal.
Pada sedimen pengendapan laut dalam (kasus tropis), masih mungkin ditemukan relik bioturbasi ini, bisa terjadi setempat namun kemungkinan merupakan sedimen yang mengalami bioturbasi di zona oxic laut dangkal yang kemudian longsor pada keratan masa yang sangat besar secara utuh masuk ke kedalaman palung. Relik kryoturbasi dapat ditemukan disedimen Kuarter maupun yang lebih tua, yang saat atau setelah pembentukannya mengalami tutupan tudung es.
Perusakan juga dapat terjadi oleh proses lain, seperti rekahan pada permukaan endapan yang mengering, atau mengalami pelarutan (batugamping) yang kemudian terisi oleh material lain (lumpur, pasir, dll).
Pada sedimen pengendapan laut dalam (kasus tropis), masih mungkin ditemukan relik bioturbasi ini, bisa terjadi setempat namun kemungkinan merupakan sedimen yang mengalami bioturbasi di zona oxic laut dangkal yang kemudian longsor pada keratan masa yang sangat besar secara utuh masuk ke kedalaman palung. Relik kryoturbasi dapat ditemukan disedimen Kuarter maupun yang lebih tua, yang saat atau setelah pembentukannya mengalami tutupan tudung es.
Perusakan juga dapat terjadi oleh proses lain, seperti rekahan pada permukaan endapan yang mengering, atau mengalami pelarutan (batugamping) yang kemudian terisi oleh material lain (lumpur, pasir, dll).
Semoga infonya bermaanfaat. Jangan lupa beri komentar yah... thx.
Minggu, 04 September 2011
PERENCANAAN DAN PEMBENTUKAN DPL
Beikut adalah langkah-langkah dalam perencanaan pembentukan DPL:
- Tahapan dan Pembentukan
- Pemilihan Lokasi KKL/DPL
- Sistem Biaya Masuk
- Kelompok Pengelola
- Peraturan Desa atau Surat Keputusan Desa
- Pengelolaan DPL
- Pembuatan Rencana Pengelolaan
- Pemasangan Tanda Batas dan Pemeliharaan
- Pendidikan Lingkungan Hidup
- MCS dan Penegakan Hukum
- Pemantauan dan Evaluasi
- Penyebarluasan Konsep DPL ke Lokasi Lain (Scaling-up)
Pemilihan Lokasi Kawasan Konservasi Laut
Mendefinisikan calon lokasi KKL
atau DPL yang akan menjadi bagian dari jaringan KKL mencakup berbagai penekanan
pada pertimbanganpertimbangan yang lebih detail dari pada penetapan kawasan
lindung di daratan, walaupun alasan utama dari pembentukan kawasan konservasi
keduanya sangat mirip, yaitu :
- Untuk menjaga proses-proses ekologi penting dan penyanggakehidupan.
- Menjamin pemanfaatan jenis dan ekosistem secara berkelanjutan.
- Melindungi keanekaragaman hayati.
Sistem Biaya Masuk
Pelaksanaan sistem biaya masuk
dalam DPL dapat diperlakukan ke dalam kawasan yang mempunyai potensi untuk
wisata perairan, atau lokasi yang dijadikan sebagai percontohan dengan
frekwensi kunjungan yang tinggi. Salah satu penggunaan dana masuk dapat
digunakan untuk pemandu wisata lokal yang dapat dianggap sebagai kompensasi
waktu mereka selama bertugas.
Besarnya biaya masuk ke DPL yang
telah ditetapkan sebagai suatu obyek wisata, sebaiknya ditetapkan oleh
pemerintah daerah. Sebagian dana akan diberikan kepada Kelompok Masyarakat
Konservasi. Penggunaan dana tersebut, misalnya untuk pemeliharaan dan
pengelolaan DPL (pelampung, tanda batas, papan informasi dsb).
Kelompok Pengelola
Kelompok Pengelola DPL adalah
Kelompok Masyarakat (Pokmas) Konservasi, yang akan melaksanakan pengelolaan
DPL. Pokmas Konservasi sebagai pengelola DPL disarankan membuat suatu struktur
organisasi yang sederhana, misalnya terdapat ketua Pokmas, sekretaris,
bendahara, danseksi-seksi.
Proses Peraturan Desa atau Surat Keputusan Desa
Aturan-aturan yang dibuat berdasar kesepakatan masyarakat sangat menentukan keberhasilan pengelolaan suatu DPL. Desa atau Keputusan Desa yang khusus mengatur pengelolaan DPL. Peraturan Desa atau Keputusan Desa tersebut akan mengikat masyarakat, baik di dalam desa yang mengelola DPL, maupun juga masyarakat diluar desa, sehingga pemerintah desa dan Pokmas Konservasi mempunyai dasar hukum untuk melarang atau menindak pelanggaran yang terjadi di lokasi DPL.
Pengelolaan DPL
Pengelolaan DPL dilakukan melalui
tahapan yang sesuai dengan siklus kebijakan pengelolaan wilayah pesisir terpadu
(Integrated Coastal Management/ICM), baik di tingkat Kabupaten/Kota atau
tingkat Desa.
Siklus kebijakan yang dimaksud
adalah :
(1) Identifikasi dan pengkajian isu
(2) Persiapan program
(3) Adopsi program secara formal dan penyediaan dana
(4) Pelaksanaan Program
(5) Evaluasi
(2) Persiapan program
(3) Adopsi program secara formal dan penyediaan dana
(4) Pelaksanaan Program
(5) Evaluasi
Pembuatan Rencana Pengelolaan
Suatu DPL haruslah mempunyai
Rencana Pengelolaan yang dibuat bersama oleh pemerintah desa dan masyarakat,
agar pengelolaan DPL berfungsi dengan baik. Rencana Pengelolaan ini merupakan
panduan bagi pemerintah desa dan masyarakat untuk pengelolaan DPL, sehingga
masyarakat dapat memetik manfaat untuk perikanan dan wisata berkelanjutan.
Pemasangan tanda batas dan
pemeliharaan
Lokasi DPL perlu dibuatkan tanda
batas, setelah Peraturan Desa ditetapkan. Batas-batas kawasan diupayakan di
pasang baik di pantai maupun di laut, yang memungkinkan untuk kemudahan upaya
pengelolaan dan khususnya pemantauan. Jika tanda batas tidak ada atau kurang
jelas terlihat, maka peneglolaan dan pemantauan sulit untuk dilakukan. Tanda
batas diusahakan dibuat dengan material sederhana namun kuat dan tahan terhadap
kondisi laut, seperti tahan terhadap gelombang, arus dan tidak korosif.
Pendidikan Lingkungan Hidup
Pendidikan masyarakat merupakan
hal yang sangat penting dalam pengelolaan DPL. Pendidikan tentang lingkungan
hidup dan pengelolaan terumbu karang dan operasional DPL bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan mengenai lingkungan pesisir, ekosistem terumbu karang
dan pengelolaan DPL, sehingga mereka dapat mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya pesisir di desa mereka secara berkelanjutan.
MCS dan Penegakan Hukum
DPL yang telah ditetapkan melalaui
Peraturan Desa perlu diawasi dari kegitan-kegiatan masyarakat yang mungkin
belum memahami manfaatnya. Untuk menjamin adanya pengawasan dan penegakan
aturan, maka disarankan untuk membuat Kelompok Pengawasan Masyarakat
(Pokmaswas).
Apabila terjadi pelanggaran aturan
DPL, maka aturan yang telah disepakati bersama perlu ditegakkan dan sanksi
diberikan kepada pelanggar. Sanksi yang dikenakan haruslah sesuai dengan
ketentuan dalam Perdes, tidak boleh ditambah ataupun dikurangi.
Pemantauan dan Evaluasian Marine Management Area
Kegiatan Pemantauan
dan Evaluasi merupakan hal yang penting dalam siklus kebijakan pengelolaan DPL.
Dengan adanya pemantauan dan evaluasi, maka kita dapat mengamati kemajuan setelah
penetapan DPL dan pengelolaan DPL diberlakukan. Dari hasil pemantauan dan
evaluasi, kita dapat mengetahui efektifitas dari DPL yang telah kita
kembangkan, baik dampak terhadap perbaikan lingkungan maupun dampak
sosial-ekonomi masyarakat.
Penyebarluasan konsep
DPL ke lokasi lain (scaling-up)
Masyarakat desa
diharapkan semakin termotivasi setelah mengikuti penyuluhan, mengingat sejarah
yang mereka alami dan mendengar atau menyaksikan keberhasilan upaya konservasi
melalui pendirian daerah perlindungan laut. Selain itu, kebanggaan masyarakat
desa sebagai desa yang berhasil mewujudkan keinginannya, sesuai dengan pesan
yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, turut meningkatkan
motivasi tersebut.
Sumber: PANDUAN
PENGEMBANGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT
DAERAH (MARINE MANAGEMENT AREA/MMA)
DI WILAYAH COREMAP II - INDONESIA BAGIAN BARAT
Sumber: PANDUAN
PENGEMBANGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT
DAERAH (MARINE MANAGEMENT AREA/MMA)
DI WILAYAH COREMAP II - INDONESIA BAGIAN BARAT
Sabtu, 03 September 2011
HUBUNGAN EKSPLOITASI, KONSERVASI & EKSPLORASI SUMBERDAYA HAYATI LAUT
Lautan merupakan suatu tempat mata pencarian bagi bangsa indonesia, dimana negara ini terdiri dari 17.000-an pulau yang tersebar. Sejak dahulu lautan telah memberi manfaat kepada manusia untuk dipergunakan sebagai suatu sarana untuk berpergian, perniagaan dan perhubungan dari satu tempat ke tempat lain. Lautan banyak mengandung sumber-sumber alam yang berlimpah-limpah jumlahnya dan bernilai berjuta-juta dolar.
Sejak diketahui bahwa laut memeiliki banyak potensi, maka segala kegiatan untuk mengeksploitasi secara besar-besaran dimulai. Banyak biota atau organisme yang dieksploitasi dengan tidak memperhitungkan kelangsunga hidupnya. Dengan demikian keseimbangan dalam suatu ekosistem tidak terjaga lagi, karena pastinya ada satu atau lebih komponen dalam rantai makanan berkurang ataupun hilang.
Jika kerusakan ekosistem dapat terjadi, maka tidak adanya efek saling control dalam sutau ekosistem. Kerusakan lingkungan yang terjadi dengan hilangnya efek saling control adalah dengan hilangnya suatu biota maka biota lain akan mendoninasai. Yang kemudian dapat juga menjadi rusak adalah biodiversitas. Tidak ada lagi keberagaman dalam suatu lingkungan.
Berdasarkan pemahaman di atas maka laut sangat terancam keberadaannya, di karenakan semua pihak baik perorangan ataupun suatu badan pemerintah ataupun swasta akan tertarik untuk mendapatkan keuntungan dari laut sebanyak mungkin yang belum tentu dapat diperbaharui kelangsungan hidupnya. Kegiatan pengambilan segala sumberdaya yang ada di laut yang dilakukan tanpa dilandaskan Undang-undang yang ada akan merusak lingkungan laut.
Seperti yang diketahui bersama bahwa untuk menjaga lingkungan laut dari kerusakan yang ditimbulkan oleh aktifitas manusia, maka perlu dibuat suatu kawasan konservasi untuk menjaga organisme atau biota yang ada dari kerusakan ekosistem mereka. Jika suatu kawasan dijadikan kawasan konservasi, maka ekosistem yang ada akan terjaga dengan baik dan dapat dipastikan kelangsungan hidup dari organisme yang ada dapat berjalan dengan baik.
Dalam pelaksanaanya, konservasi juga harus memperhatikan aspek-aspek lain yang turut berpengaruh dalam wilayah konservasi tersebut. Seperti aspek social ekonomi masyarakat yang ada. Masyarakat yang tinggal atau hidup disekitar wilayah konservasi tentunya harus diperhatikan, karena jika wilayah laut yang ada pulau mereka dikonsevasi, maka masyarakat tersebut tidak dapat mencari ikan di laut. Sedangkan misalnya pekerjaan mereka adalah nelayan. Maka masyarakat tersebut tidak dapat menafkahi kehidupan keluarganya. Harus adanya solusi dari pihak terkait untuk mencari ganti pekerjaan dari masyarakat nelayan yang ada. Misalnya dengan memberikan modal usaha dll.
Dari masalah-masalah yang timbul di atas, dapat dicarikan solusi yang tepat agar masyarakat (nelayan) tetap dapat mengambil sumberdaya hayati yang ada dilaut dengan mempertimbangkan kelangsungan hidup dari biota yang dimanfaatkan. Tetap menjalankan interaksi saling control agar keseimbangan dalam suatu ekosistem tetap terjaga.
Secara teoritis, ada dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, yakni open access dan controlled access regulation. Open access adalah regulasi yang membiarkan nelayan menangkap ikan dan mengeksploitasi sumber daya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Regulasi ini mirip ”hukum rimba” dan ”pasar bebas”. Secara empiris, regulasi ini menimbulkan dampak negatif, antara lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik berupa kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan maupun konflik antar nelayan. Sebaliknya, contolled access regulation adalah regulasi terkontrol yang dapat berupa (1) pembatasan input (input restriction), yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis kapal, dan jenis alat tangkap, (2) pembatasan output (output restriction), yakni membatasi berupa jumlah tangkapan bagi setiap nelayan.
Dengan demikian masyarakat tentunya dapat mengambil sumberdaya hayati yang ada di laut dengan mempertimbangkan kelangsungan hidup dari biota yang ada. Kegiatan eksplorasi kemudian dapat dilakukan untuk mencari tahu perlakuan apa yang tepat yang dapat diberikan pada biota atau ekosistem yang ada. Apakah suatu biota dapat diambil atau tidak dengan tetap memperhatikan perundang-undangan yang telah ada.
Langganan:
Postingan (Atom)